Sukabumi, TRANSMETRO News | Sejumlah pengurus PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Kabupaten Sukabumi menuai sorotan tajam usai diduga menggelar liburan ke Bali berkedok Musyawarah Daerah (Musda). Kegiatan yang berlangsung pada Rabu, 25 Juni 2025 dini hari itu disebut-sebut sebagai ajang perpisahan menjelang berakhirnya masa kepengurusan, namun dikemas dengan narasi formal Musda.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, keberangkatan dilakukan oleh ketua dan sekretaris PGRI tingkat kecamatan, serta didampingi oleh sejumlah pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi. Sebagian peserta bahkan turut membawa anggota keluarga. Fakta bahwa para peserta mengenakan seragam bertuliskan “Family Gathering” dan meneriakkan yel-yel “PGRI Kabupaten Sukabumi jalan-jalan” memperkuat dugaan bahwa kegiatan tersebut lebih menyerupai wisata keluarga dari pada forum musyawarah organisasi.
Yang turut menjadi sorotan adalah dugaan keterlibatan sejumlah ASN dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi setingkat Kasi dan Kabid yang ikut serta dalam kegiatan tersebut sebagai pendamping. Hal ini menimbulkan kesan bahwa lembaga pemerintah turut terlibat dalam aktivitas nonprioritas, dan pada akhirnya bertentangan dengan semangat efisiensi birokrasi yang telah digaungkan oleh pemerintah pusat, Pemprov Jabar, Pemkab Sukabumi dan bahkan imbauan internal dari dinas pendidikan sendiri.
Kegiatan semacam ini jelas melukai kepercayaan publik, terutama di tengah meningkatnya tuntutan transparansi, penghematan, dan tanggung jawab moral dari lembaga publik. Keikutsertaan ASN dalam kapasitas nonformal dan di luar agenda resmi memunculkan potensi konflik kepentingan serta membuka ruang kecurigaan publik.
Dalam konteks penghematan anggaran dan efisiensi birokrasi yang terus ditekankan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, kegiatan yang beraroma wisata ini dinilai sangat tidak tepat dari segi waktu, maupun manfaat. Sebagai organisasi profesi guru, PGRI seharusnya menjadi garda terdepan dalam peningkatan kualitas pendidikan, bukan malah terjebak dalam praktik konsumtif yang tidak memberi nilai tambah bagi pendidikan
Jika saja dana yang digunakan berasal dari iuran anggota tanpa persetujuan terbuka maka itu saja sudah menyalahi aturan terlebih lagi apabila yang digunakan adalah APBD yang dialokasikan untuk Musda tersebut. .
Pemerhati kebijakan publik Azhar Vilyan menilai, jika kegiatan tersebut benar adanya sebagaimana dugaan publik yang berkembang, maka hal itu tidak hanya keliru secara administratif, tetapi juga menunjukkan ketidakpekaan sosial.
“Guru adalah pembentuk karakter bangsa. Jika mereka justru asyik berwisata di tengah imbauan efisiensi dari pemerintah, ini sangat berbahaya secara moral. Terlebih adanya dugaan kehadiran ASN dari dinas pendidikan yang tidak hanya merugikan dinas pendidikan saja, namun juga merusak citra Pemerintah Kabupaten Sukabumi di mata masyarakat luas," ujarnya
Lebih lanjut, Azhar menyebut jika dalam laporan pertanggungjawaban kegiatan disebut “Musda”, padahal kenyataannya family gathering, maka bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga bisa masuk ke ranah pemalsuan administratif.
“PGRI dan Dinas Pendidikan harus menjelaskan secara terbuka. Ini bukan lagi soal organisasi internal, tapi sudah menyangkut etika publik, tata kelola keuangan, dan potensi pelanggaran hukum,” tegasnya.
Azhar juga menambahkan bahwa kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi publik atau aktivis anti korupsi untuk melaporkan ke Inspektorat daerah guna mengaudit sumber dan penggunaan dana kegiatan. Atau bisa melaporkan ke Kejaksaan atau Kepolisian jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum.
Dalam konteks hukum tambahnya, kegiatan semacam ini bisa dijerat dengan sejumlah pasal semisal
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, jika melibatkan keuangan negara. Pasal 372 dan 374 KUHP, jika menggunakan iuran anggota tanpa persetujuan atau melanggar peruntukan. Ataupun Pasal 263 KUHP, jika terdapat indikasi pemalsuan dokumen atau laporan kegiatan.
Sementara itu, bagi ASN yang ikut serta tanpa surat tugas resmi, dapat dianggap melanggar PP No. 94 Tahun 2021 tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil.
“Transparansi dan akuntabilitas itu bukan pilihan, tapi kewajiban bagi mereka.” tutup Azhar.
( Wahyu)